Untuk menguji kemampuan hasil belajar Anda tentang materi Turunan, silahkan Anda mencoba soal-soal evaluasi berikut. Selamat mencoba dan semoga berhasil.
Read More......
31 Mei 2010
23 Mei 2010
Turunan (Differensial)
Pada materi ini Anda akan mempelajari materi Turunan yang disertai dengan Contoh Soal dan Latihan. Selamat mencoba dan semoga berhasil.
Read More......
Read More......
19 Mei 2010
PENDEKATAN PMRI: IMPLEMENTASINNYA PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA POKOK BAHASAN DIMENSI TIGA DI KELAS I SMA YPI TUNAS BANGSA
Oleh: Sujinal Arifin
Pendahuluan
Matematika merupakan cabang mata pelajaran yang luas cakupannya dan bukan hanya sekedar bisa berhitung atau memasukkan angka-angka ke dalam rumus saja tetapi mencakup beberapa kompetensi yang menjadikan siswa dapat memahami dan mengerti tentang konsep dasar matematika. Belajar matematika juga membutuhkan kemampuan bahasa untuk memahami dan mengerti tentang soal-soal atau memahami logika, juga imajinasi dan kreativitas. Dan sekiranya dipergunakan dalam lingkungan sekolah, yaitu antara guru dan siswa maka kuncinya adalah mengambil contoh dalam kehidupan sehari-hari dan dibuat semenarik mungkin.
Pelaksanaan pembelajaran matematika yang dituntut dalam KTSP yaitu pembelajaran matematika yang hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi atau contextual problem (Depdiknas, 2006). Dengan mengajukan masalah kontekstual, siswa secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep-konsep matematika yaitu mengkondisikan siswa untuk menemukan kembali rumus, konsep, atau prinsip dalam matematika, melalui bimbingan guru. Agar siswa terbiasa melakukan penyelidikan dan menemukan sesuatu, fokus dalam pembelajaran dapat dilakukan melalui pendekatan pemecahan masalah yang mencakup masalah tertutup, mempunyai solusi tunggal, terbuka, atau masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Keterampilan untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah melalui pemahaman soal, memilih pendekatan atau strategi pemecahan, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi.
Dalam pembelajaran matematika selama ini, dunia nyata hanya dijadikan tempat mengaplikasikan konsep atau menerapkan rumus-rumus yang telah diperolehnya di dalam kelas. Akibatnya siswa mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran matematika di kelas, antara lain siswa kurang menghayati atau memahami konsep-konsep matematika, dan siswa mengalami kesulitan untuk mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Dan apabila ditanyakan kepada siswa, ”Matematika itu apa?”. Pertanyaan ini akan memperoleh jawaban yang hampir serupa yaitu: ”Matematika adalah ilmu hitung yang jawabannya pasti (tunggal) dan senantiasa berkaitan dengan rumus dan angka.” Sehingga, tidak sedikit siswa yang memandang matematika sebagai suatu mata pelajaran yang sangat membosankan, menyeramkan, bahkan menakutkan. Banyak siswa yang berusaha menghindari mata pelajaran tersebut. Hal ini jelas sangat berakibat buruk bagi perkembangan pendidikan matematika ke depan.
Sejalan dengan hal itu, Sembiring (2004) menyatakan bahwa matematika menuntut kemampuan berpikir eksploratif dan kreatif. Seseorang harus mengenali dan memahami peran yang dimainkan matematika dalam kehidupan, mampu mengambil keputusan dengan dasar yang kuat dan memanfaatkan matematika sehingga menjadi warga berguna. Siswa harus dididik untuk kreatif agar tidak hanya menjadi konsumen pengetahuan tetapi juga mampu menghasilkan pengetahuan baru. Untuk itu dituntut peran guru dalam menyiapkan materi, mengolah proses pembelajaran dan menilai kompetensi yang dimiliki siswa sesuai tuntutan kurikulum. Oleh karena itu, perubahan proses pembelajaran matematika yang menyenangkan harus menjadi prioritas utama.
Untuk mengatasi permasalahan di atas, perlu dicari suatu pendekatan yang dapat mendukung proses pembelajaran matematika yang menyenangkan dan bukan menyeramkan sehingga dapat meningkatkan motivasi sekaligus mempermudah pemahaman siswa dalam belajar matematika. Salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang saat ini sedang berkembang adalah Pendekatan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Pendekatan matematika realistik ini sesuai dengan perubahan paradigma pembelajaran, yaitu dari paradigma mengajar ke paradigma belajar atau perubahan paradigma pembelajaran yang berpusat pada guru ke paradigma pembelajaran yang berpusat pada siswa. Hal ini adalah salah satu upaya dalam rangka memperbaiki mutu pendidikan matematika.
Sehingga secara teoritis tujuan penulisan artikel ini adalah mendeskripsikan pendekatan PMRI dan implementasinya dalam pembelajaran matematika khususnya pokok bahasan Dimensi Tiga di kelas 1 SMA YPI Tunas Bangsa Palembang.
Pembahasan
A. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)
Realistic Mathematics Education (RME) merupakan teori belajar mengajar dalam pendidikan matematika yang dikembangkan di negeri Belanda. Teori RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa.
Di Indonesia sendiri, Realistic Mathematics Education (RME) dikenal dengan istilah Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Landasan teoritis dalam PMRI yang dijadikan acuan diadaptasi dari teori-teori Realistic Matematics Education (RME), yaitu dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa. PMRI dilandaskan pada tiga prinsip yaitu: 1) Guided reinvention and didactical phenomenology, 2) Progressive mathematization, 3) Self-developed models yang artinya bersandar pada prinsip penemuan kembali dan diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan informal, serta menggunakan konsep matematisasi (Freudenthal dalam Zulkardi, 2005).
Matematika Realistik yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal. Pembelajaran Matematika Realistik di kelas berorientasi pada karakteristik-karakteristik RME, sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal. Selanjutnya, siswa diberi kesempatan mengaplikasikan konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah dalam bidang lain.
Gravemeijer (1994) menyatakan “the emphasis on the idea of mathematics as a human activity”: Aktivitas yang dimaksud adalah mencari dan menyelesaikan masalah, serta mengorganisir materi (matematisasi). Dalam PMRI ada dua macam proses matematisasi yaitu matematisasi horizontal dan vertikal.
Pada matematisasi horizontal, siswa belajar dimulai dari masalah kontekstual, dengan menggunakan bahasa dan simbol yang dibuat sendiri, kemudian menyelesaikan masalah/soal tersebut. Dalam proses ini, setiap orang dapat menggunakan cara mereka sendiri yang mungkin berbeda dengan orang lain. Sedangkan pada matematisasi vertikal permasalahan juga dimulai dari soal-soal kontekstual, tetapi dalam jangka panjang kita dapat menyusun prosedur tertentu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan soal-soal sejenis secara langsung, tanpa menggunakan bantuan konteks.
De Lange dalam Marpaung (2007) mengemukakan tentang kegiatan matematisasi horizontal (proses informal) dapat dilakukan dengan cara:
1. mengidentifikasi konsep matematika tertentu dalam suatu konteks umum,
2. membuat suatu skema,
3. merumuskan dan memvisualisasi suatu masalah dengan cara yang berbeda,
4. menemukan relasi,
5. menemukan keteraturan,
6. mengenali aspek-aspek yang sama dalam masalah yang berbeda,
7. mentransfer masalah dunia nyata (kontekstual) ke masalah matematis, dan
8. mentransfer masalah kontekstual ke model matematis yang sudah ada atau sudah dikenal.
Sedangkan untuk kegiatan-kegiatan matematisasi vertikal dapat dilakukan dengan cara:
1. merepresentasikan suatu relasi dalam bentuk suatu rumus,
2. membuktikan regularitas (keteraturan),
3. menggunakan model yang berbeda,
4. menggabungkan atau mengintegrasikan model,
5. merumuskan konsep matematika yang baru, dan
6. melakukan generalisasi.
Siswa dapat memecahkan masalah dengan cara-cara informal melalui matematisasi horizontal. Cara-cara informal yang ditunjukkan oleh siswa sebagai inspirasi pembentukan konsep atau aspek matematikanya ditingkatkan melalui matematisasi vertikal. Melalui proses matematisasi horizontal-vertikal diharapkan siswa dapat memahami atau menemukan konsep-konsep matematika (pengetahuan matematika formal).
B. Karakteristik PMRI
Ada lima karakteristik yang dijadikan landasan teori PMRI (de Lange, 1987) dalam Zulkadi (2005) antara lain:
1. Menggunakan masalah konstekstual.
Masalah konstekstual digunakan selain sebagai bentuk aplikasi dapat juga sebagai titik tolak dari mana matematika yang diinginkan dapat muncul
2. Menggunakan model-model.
Pengembangan model, skema dan simbolisasi digunakan sebagai instrumen dalam matematisasi secara vertikal sehingga pembelajaran matematika tidak hanya menstransfer rumus atau matematika formal secara langsung
3. Menggunakan kontribusi murid.
Proses belajar mengajar berfokus pada student centre dan diharapkan dikonstuksi siswa sendiri sehingga mengarahkan mereka dari metode informal mereka ke arah yang lebih formal atau standar
4. Interaktivitas, negosiasi secara eksplisit, intervensi, kooperasi, dan evaluasi sesama murid dan guru adalah faktor penting dalam proses belajar secara konstruktif dimana strategi informal murid digunakan sebagai jantung untuk mencapai formal.
5. Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya, pendekatan holistik, menunjukkan bahwa unit-unit belajar tidak akan dapat dicapai secara terpisah tetapi keterkaitan dan keterintegrasian harus dieksploitasi dalam pemecahan masalah.
Selain itu, menurut Reewijk dalam Marpaung( 2007) di dalam pebelajaran matematika denngan pendekatan PMRI terdapat lima prisip pokok sebagai berikut: (a) Dunia ‘nyata’; (b) Produksi bebas dan konstruksi; (c) Matematisasi; (d) Interaksi dan (e) Aspek pembelajaran secara terintegrasi.
Selanjutnya Marpaung (2007) merumuskan karakteristik Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) sebagai berikut:
1. Murid aktif, guru aktif (matematika sebagai aktivitas manusia).
2. Pembelajaran sedapat mungkin dimulai dengan menyajikan masalah kontekstual/realistik.
3. Guru memberi kesempatan pada siswa menyelesaikan masalah dengan cara sendiri.
4. Guru menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan.
5. Siswa dapat menyelesaikan masalah dalam kelompok (kecil atau besar).
6. Pembelajaran tidak selalu di kelas (bisa di luar kelas, duduk di lantai, pergi ke luar sekolah untuk mengamati atau mengumpulkan data).
7. Guru mendorong terjadinya interaksi dan negosiasi, baik antara siswa dan siswa, juga antara siswa dan guru.
8. Siswa bebas memilih modus representasi yang sesuai dengan struktur kognitifnya sewaktu menyelesaikan suatu masalah (menggunakan model).
9. Guru bertindak sebagai fasilitator (Tut Wuri Handayani).
10. Kalau siswa membuat kesalahan dalam menyelesaikan masalah jangan dimarahi tetapi dibantu melalui pertanyaan-pertanyaan (santun, terbuka, komunikatif dan menghargai pendapat siswa)
C. Proses Pembelajaran dengan Pendekatan PMRI
Berdasarkan prinsip dan karakteristik PMRI, Hadi (2005) memberikan batasan dalam proses pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI, yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
1) Hendaknya pelajaran dimulai dengan mengajukan permasalahan yang nyata (riil) bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya. Hal ini bertujuan agar siswa dapat segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna.
2) Menyesuaikan antara permasalahan yang diberikan kepada siswa dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut.
3) Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan.
4) Pengajaran berlangsung secara interaktif, siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain, dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.
Selain itu tentunya diharapkan siswa tidak sekedar aktif sendiri tapi ada aktivitas bersama diantara siswa sehingga dapat terjadi interaksi antara siswa. Interaksi ini dapat terjadi dengan baik jika guru tidak terpaku hanya pada materi yang tertulis dalam kurikulum, tetapi selalu melakukan up-dating materi dengan persoalan-persoalan baru dan menantang.
Hadi (2002) mengemukakan tentang tiga syarat bagi berhasilnya implementasi PMRI di Indonesia yakni:
a. ketersediaan bahan kurikulum PMRI beserta pedoman implementasinya pada pembelajaran matematika;
b. perubahan keyakinan guru bahwa mengajar matematika berarti menuntun siswa untuk belajar dan mengerjakan matematika (doing mathematics); dan
c. perubahan peranan siswa dari penerima pasif menjadi individu yang aktif bekerja dan berfikir matematik.
D. Implementasi Pendekatan PMRI pada Pokok Bahasan Dimensi Tiga
Pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan PMRI ini dilakukan pada pokok bahasan dimensi tiga. Pada pokok bahasan ini difokuskan pada bagaimana menentukan kedudukan titik, garis dan bidang dalam ruang dimensi tiga.
Selanjutnnya dalam proses pembelajaran, pertama-tama siswa diajak mengingat kembali berbagai jenis bidang datar dan bangun ruang yang pernah mereka kenal atau dipelajari di SMP. Siswa diajak mengamati konteks nyata yang ada di sekitarnya, dalam hal ini kondisi ruang kelas. Dengan berdiskusi kelompok dengan temannya para siswa dapat mengidentifikasi bangun ruang serta dapat mengidentifikasi perbedaanya dengan bangun datar.
Kemudian siswa mendiskusikan tentang titik, garis, dan bidang menggunakan konteks ruang kelas, kemudian menyampaikan pendapat kelompok dalam bentuk diskusi kelas dan menyimpulkan apa pengertian dari titik, garis, dan bidang.
Selanjutnya siswa diajak untuk mendiskusikan suatu permasalahan bagaimana cara menentukan jarak dari titik ke titik dalam ruang tiga dimensi dengan menggunakan konteks ruangan kelas. Sebagai contoh yang digunakan disini adalah bola lampu yang ada di ruangan kelas yang dijadikan sebuah titik. Karena dalam kelas tersebut ada tiga buah bola lampu, maka guru mengajukan pertanyaan kepada siswa: ”Bagaimana cara Anda menentukan jarak lampu A ke lampu B dan jarak lampu A ke lampu C?”. Siswa ditugaskan untuk menjawab pertanyaan secara individui, kemudian siswa mendiskusikan hasil jawaban mereka masing-masing dalam kelompok dan melaporkan hasil diskusi kelompok mereka. Kesimpulan yang diperoleh dari masing-masing kelompok ini semua hampir sama, yaitu menarik garis lurus dari lampu A ke lampu B atau dari lampu A ke lampu C kemudian mengukur panjang dengan alat ukur yang relevan.
Setelah siswa memahami bagaimana cara mencari jarak titik ke titik pada ruang tiga dimensi, kemudian siswa diajak untuk mendiskusikan bagaimana cara mengukur jarak sebuah titik dengan sebuah garis. Contoh yang diambil masih dalam ruang kelas, jarak lampu dengan salah satu bentuk garis yang ada di langit-langit kelas. Pada permasalahan ini masing-masing kelompok memiliki pendapat yang berbeda-beda.
Pendapat Pertama: jarak titik ke garis adalah panjang garis yang ditarik dari titik ke bidang. Jadi masing-masing garis ini merupakan jarak dari titik ke garis
Pendapat Kedua: jarak titik ke garis adalah panjang garis yang ditarik dari titik ke ujung-ujung garis. Jadi masing-masing garis dari titik ke ujung-ujung garis merupakan jarak dari titik ke garis
Pendapat ketiga: jarak titik ke garis adalah jarak terdekat yang ditarik dari titik ke garis, artinya dari titik ditarik garis tegak lurus ke garis. Jadi garis dari titik yang tegak lurus dengan garis yang di maksud merupakan jarak dari titik ke garis
Kemudian dengan melakukan analisis pada masing-masing jawab siswa dan membandingkannya dengan kesimpulan pada jarak titik dengan titik yan telah diperoleh oleh siswa, maka siswa menyimpulkan mana jawaban yang paling tepat. Kemudian dengan bimbingan dari guru siswa membuat kesimpulan tentang bagaimana cara mengukur jarak dari sebuah titik pada sebuh garis. Jadi dalam mencari jarak titik dengan garis adalah dengan menarik sebuah garis dari titik yang tegak lurus dengan garis yang dimaksud.
Selanjutnya siswa diajak untuk mencari bagaimana cara mengukur jarak titik ke bidang. Konteks yang diambil adalah bagaimana menghitung jarak lampu dengan lantai, maka semua kelompok siswa mampu menjawab dengan sempurna, yaitu menarik garis lurus dari lampu ke lantai dan mengukur panjang garis tersebut. Akan tetapi ketika konteksnya diubah menjadi bagaimana cara mengukur jarak antara lampu dengan bidang dinding tegak pada ruangan kelas. Dalam hal ini siswa masih belum dapat menemukan cara yang tepat untuk menghitung bagaimana cara mengukur jarak antara lampu dengan dinding. Kemudian dengan menggunakan cara yang sama yaitu bagaimana menghitung jarak lampu dengan lantai maka siswa dibimbing untuk menentukan cara bagaimana mengukur jarak dari titik dengan sebuah bidang. Jadi untuk mencari jarak titik dengan bidang adalah dengan cara menarik garis lurus dari titik yang tegak lurus dengan bidang.
Kemudian siswa diajak untuk menggunakan konsep-konsep jarak yang telah diperoleh untuk menyelesaikan soal latihan.
Bentuk Instrumen Penilaian
Di dalam ruangan kelas yang berbentuk balok, dengan ukuran panjang 8 m, lebar 6 m, dan tinggi 3 m. Tentukan:
a. jarak atap dengan alasnya
b. jarak antara kedua sisi samping
c. jarak antara sisi depan dengan sisi belakang
d. jarak salah satu antara titik sudut sisi atap dengan sisi alas.
e. Jarak perpotongan diagonal sisi atap dengan sisi depan.
f. Jarak perpotongan diagonal sisi atap dengan perpotongan diagonal sisi depan
Penutup
Dalam proses pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI permasalahan realistik digunakan sebagai pangkal tolak pembelajaran, sehingga situasi masalah perlu diusahakan benar-benar kontektual atau sesuai dengan pengalaman siswa, sehingga siswa dapat memecahkan masalah dengan cara-cara informal melalui matematisasi horisontal. Cara-cara informal yang ditunjukkan oleh siswa digunakan sebagai inspirasi pembentukan konsep atau aspek matematikanya yang dapat ditingkatkan melalui matematisasi vertikal. Sebagai salah satu bentuk implementasi pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI ini dilaksanakan pada pokok bahasan dimensi tiga dengan menggunakan ruangan kelas sebagai konteks. Dari hasil pembelajaran yang telah dilaksanakan ternyata konsep-konsep matematika khususnya pokok bahasan dimensi tiga lebih mudah dijelaskan menggunakan pendekatan PMRI dengan konteks lingkungan ruangan kelas.
Daftar Pustaka
Depdiknas. 2006d. Pedoman Memilih dan Menyusun Bahan Ajar. Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah, (www.dikdasmen.org/files /KTSP/Pedoman%20Memilih%20dan%20Meyusun%20 Bahan%20Ajar.doc. diakses tanggal 13 Februari 2009).
Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: Freudenthal Institute.
Hadi, S. (2002). Effective Teacher Professional Development for Implementation of Realistic Mathematics Education in Indonesia. Dissertation of University of Twente. Enschede: PrintPartners Ipskamp.
Hadi, Sutarto. 2005. Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya. Banjarmasin: Tulip
Marpaung, J. (2007). Matematisasi Horizontal dan Matematisasi Vertikal. Jurnal Pendidikan Matematika Vol.1, No.1 Januari 2007. PPs UNSRI.
Sembiring. 2004. “Kemampuan Dasar Untuk Hidup”. Buletin PMRI, edisi keempat April 2004, hal 5 kolom 1.
Zulkardi. 2005. Pendidikan Matematika di Indonesia: Beberapa Perrmalasahan dan Upaya Penyelesaian. Pidato pengukuhan sebagai guru besar tetap dalam bidang ilmu pendidikan Matematika pada FKIP Unsri. Palembang: Universitas Sriwijaya.
Read More......
Pendahuluan
Matematika merupakan cabang mata pelajaran yang luas cakupannya dan bukan hanya sekedar bisa berhitung atau memasukkan angka-angka ke dalam rumus saja tetapi mencakup beberapa kompetensi yang menjadikan siswa dapat memahami dan mengerti tentang konsep dasar matematika. Belajar matematika juga membutuhkan kemampuan bahasa untuk memahami dan mengerti tentang soal-soal atau memahami logika, juga imajinasi dan kreativitas. Dan sekiranya dipergunakan dalam lingkungan sekolah, yaitu antara guru dan siswa maka kuncinya adalah mengambil contoh dalam kehidupan sehari-hari dan dibuat semenarik mungkin.
Pelaksanaan pembelajaran matematika yang dituntut dalam KTSP yaitu pembelajaran matematika yang hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi atau contextual problem (Depdiknas, 2006). Dengan mengajukan masalah kontekstual, siswa secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep-konsep matematika yaitu mengkondisikan siswa untuk menemukan kembali rumus, konsep, atau prinsip dalam matematika, melalui bimbingan guru. Agar siswa terbiasa melakukan penyelidikan dan menemukan sesuatu, fokus dalam pembelajaran dapat dilakukan melalui pendekatan pemecahan masalah yang mencakup masalah tertutup, mempunyai solusi tunggal, terbuka, atau masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Keterampilan untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah melalui pemahaman soal, memilih pendekatan atau strategi pemecahan, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi.
Dalam pembelajaran matematika selama ini, dunia nyata hanya dijadikan tempat mengaplikasikan konsep atau menerapkan rumus-rumus yang telah diperolehnya di dalam kelas. Akibatnya siswa mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran matematika di kelas, antara lain siswa kurang menghayati atau memahami konsep-konsep matematika, dan siswa mengalami kesulitan untuk mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Dan apabila ditanyakan kepada siswa, ”Matematika itu apa?”. Pertanyaan ini akan memperoleh jawaban yang hampir serupa yaitu: ”Matematika adalah ilmu hitung yang jawabannya pasti (tunggal) dan senantiasa berkaitan dengan rumus dan angka.” Sehingga, tidak sedikit siswa yang memandang matematika sebagai suatu mata pelajaran yang sangat membosankan, menyeramkan, bahkan menakutkan. Banyak siswa yang berusaha menghindari mata pelajaran tersebut. Hal ini jelas sangat berakibat buruk bagi perkembangan pendidikan matematika ke depan.
Sejalan dengan hal itu, Sembiring (2004) menyatakan bahwa matematika menuntut kemampuan berpikir eksploratif dan kreatif. Seseorang harus mengenali dan memahami peran yang dimainkan matematika dalam kehidupan, mampu mengambil keputusan dengan dasar yang kuat dan memanfaatkan matematika sehingga menjadi warga berguna. Siswa harus dididik untuk kreatif agar tidak hanya menjadi konsumen pengetahuan tetapi juga mampu menghasilkan pengetahuan baru. Untuk itu dituntut peran guru dalam menyiapkan materi, mengolah proses pembelajaran dan menilai kompetensi yang dimiliki siswa sesuai tuntutan kurikulum. Oleh karena itu, perubahan proses pembelajaran matematika yang menyenangkan harus menjadi prioritas utama.
Untuk mengatasi permasalahan di atas, perlu dicari suatu pendekatan yang dapat mendukung proses pembelajaran matematika yang menyenangkan dan bukan menyeramkan sehingga dapat meningkatkan motivasi sekaligus mempermudah pemahaman siswa dalam belajar matematika. Salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang saat ini sedang berkembang adalah Pendekatan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Pendekatan matematika realistik ini sesuai dengan perubahan paradigma pembelajaran, yaitu dari paradigma mengajar ke paradigma belajar atau perubahan paradigma pembelajaran yang berpusat pada guru ke paradigma pembelajaran yang berpusat pada siswa. Hal ini adalah salah satu upaya dalam rangka memperbaiki mutu pendidikan matematika.
Sehingga secara teoritis tujuan penulisan artikel ini adalah mendeskripsikan pendekatan PMRI dan implementasinya dalam pembelajaran matematika khususnya pokok bahasan Dimensi Tiga di kelas 1 SMA YPI Tunas Bangsa Palembang.
Pembahasan
A. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)
Realistic Mathematics Education (RME) merupakan teori belajar mengajar dalam pendidikan matematika yang dikembangkan di negeri Belanda. Teori RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa.
Di Indonesia sendiri, Realistic Mathematics Education (RME) dikenal dengan istilah Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Landasan teoritis dalam PMRI yang dijadikan acuan diadaptasi dari teori-teori Realistic Matematics Education (RME), yaitu dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa. PMRI dilandaskan pada tiga prinsip yaitu: 1) Guided reinvention and didactical phenomenology, 2) Progressive mathematization, 3) Self-developed models yang artinya bersandar pada prinsip penemuan kembali dan diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan informal, serta menggunakan konsep matematisasi (Freudenthal dalam Zulkardi, 2005).
Matematika Realistik yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal. Pembelajaran Matematika Realistik di kelas berorientasi pada karakteristik-karakteristik RME, sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal. Selanjutnya, siswa diberi kesempatan mengaplikasikan konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah dalam bidang lain.
Gravemeijer (1994) menyatakan “the emphasis on the idea of mathematics as a human activity”: Aktivitas yang dimaksud adalah mencari dan menyelesaikan masalah, serta mengorganisir materi (matematisasi). Dalam PMRI ada dua macam proses matematisasi yaitu matematisasi horizontal dan vertikal.
Pada matematisasi horizontal, siswa belajar dimulai dari masalah kontekstual, dengan menggunakan bahasa dan simbol yang dibuat sendiri, kemudian menyelesaikan masalah/soal tersebut. Dalam proses ini, setiap orang dapat menggunakan cara mereka sendiri yang mungkin berbeda dengan orang lain. Sedangkan pada matematisasi vertikal permasalahan juga dimulai dari soal-soal kontekstual, tetapi dalam jangka panjang kita dapat menyusun prosedur tertentu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan soal-soal sejenis secara langsung, tanpa menggunakan bantuan konteks.
De Lange dalam Marpaung (2007) mengemukakan tentang kegiatan matematisasi horizontal (proses informal) dapat dilakukan dengan cara:
1. mengidentifikasi konsep matematika tertentu dalam suatu konteks umum,
2. membuat suatu skema,
3. merumuskan dan memvisualisasi suatu masalah dengan cara yang berbeda,
4. menemukan relasi,
5. menemukan keteraturan,
6. mengenali aspek-aspek yang sama dalam masalah yang berbeda,
7. mentransfer masalah dunia nyata (kontekstual) ke masalah matematis, dan
8. mentransfer masalah kontekstual ke model matematis yang sudah ada atau sudah dikenal.
Sedangkan untuk kegiatan-kegiatan matematisasi vertikal dapat dilakukan dengan cara:
1. merepresentasikan suatu relasi dalam bentuk suatu rumus,
2. membuktikan regularitas (keteraturan),
3. menggunakan model yang berbeda,
4. menggabungkan atau mengintegrasikan model,
5. merumuskan konsep matematika yang baru, dan
6. melakukan generalisasi.
Siswa dapat memecahkan masalah dengan cara-cara informal melalui matematisasi horizontal. Cara-cara informal yang ditunjukkan oleh siswa sebagai inspirasi pembentukan konsep atau aspek matematikanya ditingkatkan melalui matematisasi vertikal. Melalui proses matematisasi horizontal-vertikal diharapkan siswa dapat memahami atau menemukan konsep-konsep matematika (pengetahuan matematika formal).
B. Karakteristik PMRI
Ada lima karakteristik yang dijadikan landasan teori PMRI (de Lange, 1987) dalam Zulkadi (2005) antara lain:
1. Menggunakan masalah konstekstual.
Masalah konstekstual digunakan selain sebagai bentuk aplikasi dapat juga sebagai titik tolak dari mana matematika yang diinginkan dapat muncul
2. Menggunakan model-model.
Pengembangan model, skema dan simbolisasi digunakan sebagai instrumen dalam matematisasi secara vertikal sehingga pembelajaran matematika tidak hanya menstransfer rumus atau matematika formal secara langsung
3. Menggunakan kontribusi murid.
Proses belajar mengajar berfokus pada student centre dan diharapkan dikonstuksi siswa sendiri sehingga mengarahkan mereka dari metode informal mereka ke arah yang lebih formal atau standar
4. Interaktivitas, negosiasi secara eksplisit, intervensi, kooperasi, dan evaluasi sesama murid dan guru adalah faktor penting dalam proses belajar secara konstruktif dimana strategi informal murid digunakan sebagai jantung untuk mencapai formal.
5. Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya, pendekatan holistik, menunjukkan bahwa unit-unit belajar tidak akan dapat dicapai secara terpisah tetapi keterkaitan dan keterintegrasian harus dieksploitasi dalam pemecahan masalah.
Selain itu, menurut Reewijk dalam Marpaung( 2007) di dalam pebelajaran matematika denngan pendekatan PMRI terdapat lima prisip pokok sebagai berikut: (a) Dunia ‘nyata’; (b) Produksi bebas dan konstruksi; (c) Matematisasi; (d) Interaksi dan (e) Aspek pembelajaran secara terintegrasi.
Selanjutnya Marpaung (2007) merumuskan karakteristik Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) sebagai berikut:
1. Murid aktif, guru aktif (matematika sebagai aktivitas manusia).
2. Pembelajaran sedapat mungkin dimulai dengan menyajikan masalah kontekstual/realistik.
3. Guru memberi kesempatan pada siswa menyelesaikan masalah dengan cara sendiri.
4. Guru menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan.
5. Siswa dapat menyelesaikan masalah dalam kelompok (kecil atau besar).
6. Pembelajaran tidak selalu di kelas (bisa di luar kelas, duduk di lantai, pergi ke luar sekolah untuk mengamati atau mengumpulkan data).
7. Guru mendorong terjadinya interaksi dan negosiasi, baik antara siswa dan siswa, juga antara siswa dan guru.
8. Siswa bebas memilih modus representasi yang sesuai dengan struktur kognitifnya sewaktu menyelesaikan suatu masalah (menggunakan model).
9. Guru bertindak sebagai fasilitator (Tut Wuri Handayani).
10. Kalau siswa membuat kesalahan dalam menyelesaikan masalah jangan dimarahi tetapi dibantu melalui pertanyaan-pertanyaan (santun, terbuka, komunikatif dan menghargai pendapat siswa)
C. Proses Pembelajaran dengan Pendekatan PMRI
Berdasarkan prinsip dan karakteristik PMRI, Hadi (2005) memberikan batasan dalam proses pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI, yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
1) Hendaknya pelajaran dimulai dengan mengajukan permasalahan yang nyata (riil) bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya. Hal ini bertujuan agar siswa dapat segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna.
2) Menyesuaikan antara permasalahan yang diberikan kepada siswa dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut.
3) Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan.
4) Pengajaran berlangsung secara interaktif, siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain, dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.
Selain itu tentunya diharapkan siswa tidak sekedar aktif sendiri tapi ada aktivitas bersama diantara siswa sehingga dapat terjadi interaksi antara siswa. Interaksi ini dapat terjadi dengan baik jika guru tidak terpaku hanya pada materi yang tertulis dalam kurikulum, tetapi selalu melakukan up-dating materi dengan persoalan-persoalan baru dan menantang.
Hadi (2002) mengemukakan tentang tiga syarat bagi berhasilnya implementasi PMRI di Indonesia yakni:
a. ketersediaan bahan kurikulum PMRI beserta pedoman implementasinya pada pembelajaran matematika;
b. perubahan keyakinan guru bahwa mengajar matematika berarti menuntun siswa untuk belajar dan mengerjakan matematika (doing mathematics); dan
c. perubahan peranan siswa dari penerima pasif menjadi individu yang aktif bekerja dan berfikir matematik.
D. Implementasi Pendekatan PMRI pada Pokok Bahasan Dimensi Tiga
Pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan PMRI ini dilakukan pada pokok bahasan dimensi tiga. Pada pokok bahasan ini difokuskan pada bagaimana menentukan kedudukan titik, garis dan bidang dalam ruang dimensi tiga.
Selanjutnnya dalam proses pembelajaran, pertama-tama siswa diajak mengingat kembali berbagai jenis bidang datar dan bangun ruang yang pernah mereka kenal atau dipelajari di SMP. Siswa diajak mengamati konteks nyata yang ada di sekitarnya, dalam hal ini kondisi ruang kelas. Dengan berdiskusi kelompok dengan temannya para siswa dapat mengidentifikasi bangun ruang serta dapat mengidentifikasi perbedaanya dengan bangun datar.
Kemudian siswa mendiskusikan tentang titik, garis, dan bidang menggunakan konteks ruang kelas, kemudian menyampaikan pendapat kelompok dalam bentuk diskusi kelas dan menyimpulkan apa pengertian dari titik, garis, dan bidang.
Selanjutnya siswa diajak untuk mendiskusikan suatu permasalahan bagaimana cara menentukan jarak dari titik ke titik dalam ruang tiga dimensi dengan menggunakan konteks ruangan kelas. Sebagai contoh yang digunakan disini adalah bola lampu yang ada di ruangan kelas yang dijadikan sebuah titik. Karena dalam kelas tersebut ada tiga buah bola lampu, maka guru mengajukan pertanyaan kepada siswa: ”Bagaimana cara Anda menentukan jarak lampu A ke lampu B dan jarak lampu A ke lampu C?”. Siswa ditugaskan untuk menjawab pertanyaan secara individui, kemudian siswa mendiskusikan hasil jawaban mereka masing-masing dalam kelompok dan melaporkan hasil diskusi kelompok mereka. Kesimpulan yang diperoleh dari masing-masing kelompok ini semua hampir sama, yaitu menarik garis lurus dari lampu A ke lampu B atau dari lampu A ke lampu C kemudian mengukur panjang dengan alat ukur yang relevan.
Setelah siswa memahami bagaimana cara mencari jarak titik ke titik pada ruang tiga dimensi, kemudian siswa diajak untuk mendiskusikan bagaimana cara mengukur jarak sebuah titik dengan sebuah garis. Contoh yang diambil masih dalam ruang kelas, jarak lampu dengan salah satu bentuk garis yang ada di langit-langit kelas. Pada permasalahan ini masing-masing kelompok memiliki pendapat yang berbeda-beda.
Pendapat Pertama: jarak titik ke garis adalah panjang garis yang ditarik dari titik ke bidang. Jadi masing-masing garis ini merupakan jarak dari titik ke garis
Pendapat Kedua: jarak titik ke garis adalah panjang garis yang ditarik dari titik ke ujung-ujung garis. Jadi masing-masing garis dari titik ke ujung-ujung garis merupakan jarak dari titik ke garis
Pendapat ketiga: jarak titik ke garis adalah jarak terdekat yang ditarik dari titik ke garis, artinya dari titik ditarik garis tegak lurus ke garis. Jadi garis dari titik yang tegak lurus dengan garis yang di maksud merupakan jarak dari titik ke garis
Kemudian dengan melakukan analisis pada masing-masing jawab siswa dan membandingkannya dengan kesimpulan pada jarak titik dengan titik yan telah diperoleh oleh siswa, maka siswa menyimpulkan mana jawaban yang paling tepat. Kemudian dengan bimbingan dari guru siswa membuat kesimpulan tentang bagaimana cara mengukur jarak dari sebuah titik pada sebuh garis. Jadi dalam mencari jarak titik dengan garis adalah dengan menarik sebuah garis dari titik yang tegak lurus dengan garis yang dimaksud.
Selanjutnya siswa diajak untuk mencari bagaimana cara mengukur jarak titik ke bidang. Konteks yang diambil adalah bagaimana menghitung jarak lampu dengan lantai, maka semua kelompok siswa mampu menjawab dengan sempurna, yaitu menarik garis lurus dari lampu ke lantai dan mengukur panjang garis tersebut. Akan tetapi ketika konteksnya diubah menjadi bagaimana cara mengukur jarak antara lampu dengan bidang dinding tegak pada ruangan kelas. Dalam hal ini siswa masih belum dapat menemukan cara yang tepat untuk menghitung bagaimana cara mengukur jarak antara lampu dengan dinding. Kemudian dengan menggunakan cara yang sama yaitu bagaimana menghitung jarak lampu dengan lantai maka siswa dibimbing untuk menentukan cara bagaimana mengukur jarak dari titik dengan sebuah bidang. Jadi untuk mencari jarak titik dengan bidang adalah dengan cara menarik garis lurus dari titik yang tegak lurus dengan bidang.
Kemudian siswa diajak untuk menggunakan konsep-konsep jarak yang telah diperoleh untuk menyelesaikan soal latihan.
Bentuk Instrumen Penilaian
Di dalam ruangan kelas yang berbentuk balok, dengan ukuran panjang 8 m, lebar 6 m, dan tinggi 3 m. Tentukan:
a. jarak atap dengan alasnya
b. jarak antara kedua sisi samping
c. jarak antara sisi depan dengan sisi belakang
d. jarak salah satu antara titik sudut sisi atap dengan sisi alas.
e. Jarak perpotongan diagonal sisi atap dengan sisi depan.
f. Jarak perpotongan diagonal sisi atap dengan perpotongan diagonal sisi depan
Penutup
Dalam proses pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI permasalahan realistik digunakan sebagai pangkal tolak pembelajaran, sehingga situasi masalah perlu diusahakan benar-benar kontektual atau sesuai dengan pengalaman siswa, sehingga siswa dapat memecahkan masalah dengan cara-cara informal melalui matematisasi horisontal. Cara-cara informal yang ditunjukkan oleh siswa digunakan sebagai inspirasi pembentukan konsep atau aspek matematikanya yang dapat ditingkatkan melalui matematisasi vertikal. Sebagai salah satu bentuk implementasi pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI ini dilaksanakan pada pokok bahasan dimensi tiga dengan menggunakan ruangan kelas sebagai konteks. Dari hasil pembelajaran yang telah dilaksanakan ternyata konsep-konsep matematika khususnya pokok bahasan dimensi tiga lebih mudah dijelaskan menggunakan pendekatan PMRI dengan konteks lingkungan ruangan kelas.
Daftar Pustaka
Depdiknas. 2006d. Pedoman Memilih dan Menyusun Bahan Ajar. Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah, (www.dikdasmen.org/files /KTSP/Pedoman%20Memilih%20dan%20Meyusun%20 Bahan%20Ajar.doc. diakses tanggal 13 Februari 2009).
Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: Freudenthal Institute.
Hadi, S. (2002). Effective Teacher Professional Development for Implementation of Realistic Mathematics Education in Indonesia. Dissertation of University of Twente. Enschede: PrintPartners Ipskamp.
Hadi, Sutarto. 2005. Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya. Banjarmasin: Tulip
Marpaung, J. (2007). Matematisasi Horizontal dan Matematisasi Vertikal. Jurnal Pendidikan Matematika Vol.1, No.1 Januari 2007. PPs UNSRI.
Sembiring. 2004. “Kemampuan Dasar Untuk Hidup”. Buletin PMRI, edisi keempat April 2004, hal 5 kolom 1.
Zulkardi. 2005. Pendidikan Matematika di Indonesia: Beberapa Perrmalasahan dan Upaya Penyelesaian. Pidato pengukuhan sebagai guru besar tetap dalam bidang ilmu pendidikan Matematika pada FKIP Unsri. Palembang: Universitas Sriwijaya.
18 Mei 2010
Media Manipulatif Untuk Pembelajaran Matematika SD : Materi Operasi Pecahan
Oleh: Sujinal Arifin
Abstrak
Makalah ini bertujuan memaparkan tentang apa dan bagaimana media manipulatif untuk pembelajaran matematika SD: materi operasi pecahan. Media manipulatif adalah media yang dapat dibalik, dipotong, digeser, dipindahkan, digambar, ditambah, dipilah, dikelompokkan atau diklasifikasikan yang bertujuan untuk menjelaskan konsep dan prosedur matematika. Media manipulatif untuk materi operasi pecahan ini terbuat dari triplek dan kertas warna. Media manipulatif ini dipergunakan untuk menjumlahkan, mengurangkan, mengalikan dan membagi dua buah bilangan pecahan.
Kata kunci : media manipulatif, matematika SD, operasi pecahan
PENDAHULUAN
Secara etimologi, matematika berasal dari bahas latin manthanein atau mathemata yang berarti “belajar atau hal yang dipelajari”. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang dipelajari dari jenjang SD sampai perguruan tinggi. Celakanya, semakin banyak siswa dari SD sampai perguruan tinggi yang mengangap pelajaran matematika sebagai pelajaran yang menakutkan, tidak menarik, membosankan dan sulit. Zulkardi (2002) mengemukakan “…the main problem of mathematics education in Indonesia–especially in the arena of secondary schools–are both low objective achievement of pupils in mathematics and their poor attitude toward mathematics.” Hal ini mungkin disebabkan oleh pendapat pakar yang mendefinisikan bahwa matematika adalah pemeriksaan aksioma yang menegaskan struktur abstrak menggunakan logika simbolik dan notasi matematika, sehingga pembelajaran di sekolah pun cenderung aksiomatis, abstrak dan penuh simbol.
Meskipun demikian, matematika mempunyai peranan penting dalam mengembangkan daya pikir manusia. Dengan pembelajaran matematika diharapkan peserta didik dapat mengembangkan kemampuan menggunakan matematika dalam pemecahan masalah dan mengkomunikasikan ide atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel, diagram dan media lain. Konsep dan kompetensi baru dalam pembelajaran matematika:
a. dalam materi pembelajaran ditekankan pentingnya konteks yang sesuai dengan konsep dalam memulai pelajaran
b. beralih pendekatan pembelajaran dari teacher centered ke student centered
(Zulkardi, 2002)
Penguasaan materi pelajaran apapun (bukan hanya matematika) membutuhkan ketekunan dan tingkat penguasaan materi salah satu ditentukan oleh ketekunan siswa itu sendiri. Tetapi waktu yang dibutuhkan untuk menguasai suatu materi bagi tiap orang tidak sama. Asalkan siswa mempunyai minat dan waktu yang cukup untuk mempelajari suatu materi pelajaran, siswa akan bisa menguasai materi tersebut.
Dalam peraturan Mendiknas No. 24 tahun 2006, menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem), sehingga secara bertahap peserta didik dibimbing untuk menguasai konsep matematika (Depdiknas, 2006)
Selain bahan ajar, media juga mempunyai peran penting dalam pembelajaran, karena media pengajaran mempunyai manfaat sebagai berikut yaitu :
1. Pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar.
2. Bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh siswa dan memungkinkannya menguasai dan mencapai tujuan pengajaran.
(Sudjana dan Rivai, 2005)
Selain itu Dale (2007) juga menyebutkan bahwa media mempunyai kegunaan:
a. Memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis.
b. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu tenaga dan daya indra.
c. Menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih langsung antara murid dengan sumber belajar.
d. Memungkinkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan visual, auditori & kinestetiknya.
e. Memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman dan menimbulkan persepsi yang sama
Berdasarkan pendapat di atas, maka tujuan makalah ini adalah memaparkan tentang apa dan bagaimana media manipulatif untuk pembelajaran matematika SD khususnya materi operasi pecahan. Dan hasilnya diharapkan dapat menciptakan komunikasi antara guru-siswa dan dapat memberikan pemahaman materi yang lebih baik bagi siswa sehingga akan meningkatkan hasil belajar siswa.
PEMBAHASAN
A. Media
Media (merupakan bentuk jamak dari kata medium) adalah suatu saluran untuk berkomukasi. Diturunkan dari bahasa Latin yang berarti ”antara”. Istilah ini merujuk kepada sesuatu yang membawa informasi dari pengirim informasi ke penerima informasi. Masuk diantaranya komputer multimedia (Heinich, 1996)
Media pada dasarnya terkelompokkan kedalam dua bagian, yaitu media sebagai pembawa informasi (ilmu pengetahuan), dan media yang sekaligus merupakan alat untuk menanamkan konsep seperti halnya alat peraga.
Sadiman (2005) mengemukakan bahwa Media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, dan minat serta perhatian mahasiswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi.
Azhar (2007) juga mengemukakan bahwa media adalah segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi. Media ini berisikan pesan atau informasi yang bertujuan instruksional atau mengandung maksud-maksud pembelajaran.
Selain itu Rohani (1997) mengemukakan bahwa Media adalah sarana komunikasi dalam proses belajar mengajar yang berupa perangkat keras maupun perangkat lunak untuk mencapai proses dan hasil instruksional secara efektif dan efisien, serta tujuan instruksional dapat dicapai dengan mudah.
Dari pendapat-pendapat di atas, peneliti menyimpulkan bahwa media adalah seperangkat alat bantu yang digunakan untuk menyampaikan informasi dari pendidik kepada peserta didik agar dapat menarik minat dan perhatian sehingga proses belajar mengajar yang efektif dan efisien terjadi.
B. MEDIA MANIPULATIF
Media manipulatif dalam pembelajaran matematika SD adalah alat bantu pembelajaran yang digunakan terutama untuk menjelaskan konsep dan prosedur matematika. Media ini merupakan bagian langsung dari mata pelajaran matematika dan dimanipulasikan oleh peserta didik (dibalik, dipotong, digeser, dipindahkan, digambar, dipilah, dikelompokkan atau diklasifikasikan (Muhsetyo dkk, 2007).
Penggunaan manipulatif ini dimaksudkan untuk mempermudah peserta didik dalam memahami konsep dan prosedur matematika. Media manipulatif ini berfungsi untuk menyederhanakan konsep yang sulit/sukar, menyajikan bahan yang relatif abstrak menjadi lebih nyata, menjelaskan pengertian atau konsep secara lebih konkret, menjelaskan sifat-sifat tertentu yang terkait dengan pengerjaan (operasi) hitung, sifat-sifat bangun geometri serta memperlihatkan fakta-fakta (Muhsetyo dkk, 2007).
Dalam pembelajaran matematika, hendaknya agar bahan pelajaran yang diberikan lebih mudah dipahami oleh siswa, diperlukan bahan-bahan yang perlu disiapkan guru, dari barang-barang yang harganya relatif murah dan mudah diperoleh, misalnya kertas manila, karton, kayu, kawat, kain untuk menanamkan konsep matematika tertentu sesuai dengan keperluan.
C. MEDIA MANIPULATIF UNTUK PEMBELAJARAN MATEMATIKA SD: MATERI OPERASI PECAHAN
a. Alat dan Bahan
Khusus media mapulatif untuk pembelajaran matematika SD ini terbuat dari bahan dasar triplek dan kertas manggis berwarna (merah dan kuning). Triplek digunakan sebagai tempat menggambarkan pecahan yang akan kita operasikan sedangkan kertas manggis warna merah melambangkan pecahan pertama dan kertas manggis warna kuning melambangkan pecahan kedua.
b. Cara membuat Media Manipulatif.
Langkah-langkah membuat media manipulatif untuk pembelajaran matematika SD: materi operasi pecahan adalah sebagai berikut:
Siapkan sebuah triplek putih, kemudian potonglah menjadi ukuran 50 cm x 50 cm
Potong-potonglah kertas manggis berwarna merah dan kuning menjadi beberapa potongan yang masing-masing potongannya 5 cm x 10 cm.
Berilah doubel-tip pada masing-masing potongan kertas manggis agar dapat ditempelkan pada triplek.
D. PENGGUNAAN MEDIA MANIPULATIF UNTUK MATERI OPERASI PECAHAN
a. Penjumlahan
Misalkan kita akan menjumlahkan ???
Adapun langkah-langkah yang akan kita lakukan dalam menjumlahkan dua buah bilangan pecahan adalah sebagai berikut.
Buatlah sebuah persegi panjang pada triplek yang sudah kita sediakan.
Kemudian bagilah persegi panjang tersebut dalam menjadi tiga bagian yang sama ( karena penyebut bilangan pertama 3)
Dari sisi yang lain, bagilah persegi panjang tersebut menjadi dua bagian yang sama (karena penyebut bilangan kedua 2)
Letakkan kertas manggis berwarna merah sebanyak 1/3 bagian dari sisi vertikal, dan kertas manggis berwarna kuning sebanyak ½ bagian dari sisi horizontal.
Pada percobaan terdapat satu kotak yang berisi dua warna, pindahkan salah satu warnanya ke kotak yang masih kosong.
Hitunglah berapa banyak kotak berwarna merah dan berwarna kuning, serta seluruh kotak yang tersedia, maka dapat kita simpulkan bahwa
b. Pengurangan
Misalkan kita akan mengurangkan ???
Adapun langkah-langkah yang akan kita lakukan dalam mengurangkan dua buah bilangan pecahan adalah sebagai berikut.
Buatlah sebuah persegi panjang pada triplek yang sudah kita sediakan.
Kemudian bagilah persegi panjang tersebut dalam menjadi dua bagian yang sama ( karena penyebut bilangan pertama 2)
Dari sisi yang lain, bagilah persegi panjang tersebut menjadi tiga bagian yang sama (karena penyebut bilangan kedua 3)
Letakkan kertas manggis berwarna merah sebanyak ½ bagian dari sisi vertikal
Pindahkan satu kertas warna merah, sehingga akan diperoleh 1/3 bagian
Karena bilangan pengurangnya adalah 1/3, maka baliklah 1/3 bagiannya.
Hitunglah berapa banyak kotak berwarna merah yang tersisa, maka dapat kita simpulkan bahwa
c. Perkalian
Misalkan kita akan mengalikan ???
Adapun langkah-langkah yang akan kita lakukan dalam menjumlahkan dua buah bilangan pecahan adalah sebagai berikut.
Buatlah sebuah persegi panjang pada triplek yang sudah kita sediakan.
Kemudian bagilah persegi panjang tersebut dalam menjadi tiga bagian yang sama ( karena penyebut bilangan pertama 3)
Dari sisi yang lain, bagilah persegi panjang tersebut menjadi dua bagian yang sama (karena penyebut bilangan kedua 2)
Letakkan kertas manggis berwarna merah sebanyak 1/3 bagian dari sisi vertikal, dan kertas manggis berwarna kuning sebanyak ½ bagian dari sisi horizontal.
Sekarang hitunglah berapa kotak yang berisi dua warna, maka dapat kita simpulkan bahwa
d. Pembagian
Misalkan kita akan mengalikan ???
Adapun langkah-langkah yang akan kita lakukan dalam menjumlahkan dua buah bilangan pecahan adalah sebagai berikut.
Buatlah sebuah persegi panjang pada triplek yang sudah kita sediakan.
Kemudian bagilah persegi panjang tersebut dalam menjadi tiga bagian yang sama ( karena penyebut bilangan pertama 3)
Dari sisi yang lain, bagilah persegi panjang tersebut menjadi dua bagian yang sama (karena penyebut bilangan kedua 2)
Letakkan kertas manggis berwarna merah sebanyak 1/3 bagian dari sisi vertikal, dan kertas manggis berwarna kuning sebanyak ½ bagian dari sisi horizontal.
Sekarang hitunglah berapa kotak yang berisi jika dilihat secara vertikal (sebagai pembilang), dan berapa kotak secara horizontal (penyebut), maka dapat kita simpulkan bahwa
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dengan media yang dapat dibalik, dipotong, digeser, dipidahkan, digambar, ditambah, dipilah, dikelompokkan atau diklasifikasikan dapat menjelaskan konsep dan prosedur matematika. Media manipulatif untuk materi operasi pecahan ini terbuat dari triplek dan kertas warna. Media manipulatif ini dipergunakan untuk menjumlahkan, mengurangkan, mengalikan dan membagi dua buah bilangan pecahan.
DAFTAR PUSTAKA
Azhar, A. 2007. Media Pembelajaran. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Dale. 2007. CAI : Media Pembelajaran Kontekstual Berbasis Informasi Teknologi. (Http://jchkumaat.wordpress.com/2007/02/18/cai-media-pembelajaran-kontekstual-berbasis-informasi-teknologi, diakses tanggal 17 Maret 2008)
Depdiknas.2006. “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan”. http://www.depdiknas.go.id. Diakses tanggal 24 Maret 2010.
Heinich, R. et.al. 1996. Intructional Media and Technologies for Learning. 5th edition. Meriill an imprint of Prentice Hall : Englewood Clifft. New Jersy. Columvus , Ohio
Muhsetyo, dkk. 2007. Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
Rohani, A. 1997. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta : Rineka Cipta.
Sadiman, Arif S, dkk. 2005. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.
Sudjana, N, A. Rivai. 2005. Media Pengajaran: Penggunaannya dan Pembuatannya. Bandung: Sinar Baru.
Zulkardi. 2002. Developing a Learning Environment on Realistic Mathematics Education for Indonesian student teachers. Disertasi. (http://projects.edte.utwente.nl/cascade/imei/dissertation/disertasi.html. diakses tanggal 10 Desember 2007)
Read More......
Abstrak
Makalah ini bertujuan memaparkan tentang apa dan bagaimana media manipulatif untuk pembelajaran matematika SD: materi operasi pecahan. Media manipulatif adalah media yang dapat dibalik, dipotong, digeser, dipindahkan, digambar, ditambah, dipilah, dikelompokkan atau diklasifikasikan yang bertujuan untuk menjelaskan konsep dan prosedur matematika. Media manipulatif untuk materi operasi pecahan ini terbuat dari triplek dan kertas warna. Media manipulatif ini dipergunakan untuk menjumlahkan, mengurangkan, mengalikan dan membagi dua buah bilangan pecahan.
Kata kunci : media manipulatif, matematika SD, operasi pecahan
PENDAHULUAN
Secara etimologi, matematika berasal dari bahas latin manthanein atau mathemata yang berarti “belajar atau hal yang dipelajari”. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang dipelajari dari jenjang SD sampai perguruan tinggi. Celakanya, semakin banyak siswa dari SD sampai perguruan tinggi yang mengangap pelajaran matematika sebagai pelajaran yang menakutkan, tidak menarik, membosankan dan sulit. Zulkardi (2002) mengemukakan “…the main problem of mathematics education in Indonesia–especially in the arena of secondary schools–are both low objective achievement of pupils in mathematics and their poor attitude toward mathematics.” Hal ini mungkin disebabkan oleh pendapat pakar yang mendefinisikan bahwa matematika adalah pemeriksaan aksioma yang menegaskan struktur abstrak menggunakan logika simbolik dan notasi matematika, sehingga pembelajaran di sekolah pun cenderung aksiomatis, abstrak dan penuh simbol.
Meskipun demikian, matematika mempunyai peranan penting dalam mengembangkan daya pikir manusia. Dengan pembelajaran matematika diharapkan peserta didik dapat mengembangkan kemampuan menggunakan matematika dalam pemecahan masalah dan mengkomunikasikan ide atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel, diagram dan media lain. Konsep dan kompetensi baru dalam pembelajaran matematika:
a. dalam materi pembelajaran ditekankan pentingnya konteks yang sesuai dengan konsep dalam memulai pelajaran
b. beralih pendekatan pembelajaran dari teacher centered ke student centered
(Zulkardi, 2002)
Penguasaan materi pelajaran apapun (bukan hanya matematika) membutuhkan ketekunan dan tingkat penguasaan materi salah satu ditentukan oleh ketekunan siswa itu sendiri. Tetapi waktu yang dibutuhkan untuk menguasai suatu materi bagi tiap orang tidak sama. Asalkan siswa mempunyai minat dan waktu yang cukup untuk mempelajari suatu materi pelajaran, siswa akan bisa menguasai materi tersebut.
Dalam peraturan Mendiknas No. 24 tahun 2006, menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem), sehingga secara bertahap peserta didik dibimbing untuk menguasai konsep matematika (Depdiknas, 2006)
Selain bahan ajar, media juga mempunyai peran penting dalam pembelajaran, karena media pengajaran mempunyai manfaat sebagai berikut yaitu :
1. Pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar.
2. Bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh siswa dan memungkinkannya menguasai dan mencapai tujuan pengajaran.
(Sudjana dan Rivai, 2005)
Selain itu Dale (2007) juga menyebutkan bahwa media mempunyai kegunaan:
a. Memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis.
b. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu tenaga dan daya indra.
c. Menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih langsung antara murid dengan sumber belajar.
d. Memungkinkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan visual, auditori & kinestetiknya.
e. Memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman dan menimbulkan persepsi yang sama
Berdasarkan pendapat di atas, maka tujuan makalah ini adalah memaparkan tentang apa dan bagaimana media manipulatif untuk pembelajaran matematika SD khususnya materi operasi pecahan. Dan hasilnya diharapkan dapat menciptakan komunikasi antara guru-siswa dan dapat memberikan pemahaman materi yang lebih baik bagi siswa sehingga akan meningkatkan hasil belajar siswa.
PEMBAHASAN
A. Media
Media (merupakan bentuk jamak dari kata medium) adalah suatu saluran untuk berkomukasi. Diturunkan dari bahasa Latin yang berarti ”antara”. Istilah ini merujuk kepada sesuatu yang membawa informasi dari pengirim informasi ke penerima informasi. Masuk diantaranya komputer multimedia (Heinich, 1996)
Media pada dasarnya terkelompokkan kedalam dua bagian, yaitu media sebagai pembawa informasi (ilmu pengetahuan), dan media yang sekaligus merupakan alat untuk menanamkan konsep seperti halnya alat peraga.
Sadiman (2005) mengemukakan bahwa Media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, dan minat serta perhatian mahasiswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi.
Azhar (2007) juga mengemukakan bahwa media adalah segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi. Media ini berisikan pesan atau informasi yang bertujuan instruksional atau mengandung maksud-maksud pembelajaran.
Selain itu Rohani (1997) mengemukakan bahwa Media adalah sarana komunikasi dalam proses belajar mengajar yang berupa perangkat keras maupun perangkat lunak untuk mencapai proses dan hasil instruksional secara efektif dan efisien, serta tujuan instruksional dapat dicapai dengan mudah.
Dari pendapat-pendapat di atas, peneliti menyimpulkan bahwa media adalah seperangkat alat bantu yang digunakan untuk menyampaikan informasi dari pendidik kepada peserta didik agar dapat menarik minat dan perhatian sehingga proses belajar mengajar yang efektif dan efisien terjadi.
B. MEDIA MANIPULATIF
Media manipulatif dalam pembelajaran matematika SD adalah alat bantu pembelajaran yang digunakan terutama untuk menjelaskan konsep dan prosedur matematika. Media ini merupakan bagian langsung dari mata pelajaran matematika dan dimanipulasikan oleh peserta didik (dibalik, dipotong, digeser, dipindahkan, digambar, dipilah, dikelompokkan atau diklasifikasikan (Muhsetyo dkk, 2007).
Penggunaan manipulatif ini dimaksudkan untuk mempermudah peserta didik dalam memahami konsep dan prosedur matematika. Media manipulatif ini berfungsi untuk menyederhanakan konsep yang sulit/sukar, menyajikan bahan yang relatif abstrak menjadi lebih nyata, menjelaskan pengertian atau konsep secara lebih konkret, menjelaskan sifat-sifat tertentu yang terkait dengan pengerjaan (operasi) hitung, sifat-sifat bangun geometri serta memperlihatkan fakta-fakta (Muhsetyo dkk, 2007).
Dalam pembelajaran matematika, hendaknya agar bahan pelajaran yang diberikan lebih mudah dipahami oleh siswa, diperlukan bahan-bahan yang perlu disiapkan guru, dari barang-barang yang harganya relatif murah dan mudah diperoleh, misalnya kertas manila, karton, kayu, kawat, kain untuk menanamkan konsep matematika tertentu sesuai dengan keperluan.
C. MEDIA MANIPULATIF UNTUK PEMBELAJARAN MATEMATIKA SD: MATERI OPERASI PECAHAN
a. Alat dan Bahan
Khusus media mapulatif untuk pembelajaran matematika SD ini terbuat dari bahan dasar triplek dan kertas manggis berwarna (merah dan kuning). Triplek digunakan sebagai tempat menggambarkan pecahan yang akan kita operasikan sedangkan kertas manggis warna merah melambangkan pecahan pertama dan kertas manggis warna kuning melambangkan pecahan kedua.
b. Cara membuat Media Manipulatif.
Langkah-langkah membuat media manipulatif untuk pembelajaran matematika SD: materi operasi pecahan adalah sebagai berikut:
Siapkan sebuah triplek putih, kemudian potonglah menjadi ukuran 50 cm x 50 cm
Potong-potonglah kertas manggis berwarna merah dan kuning menjadi beberapa potongan yang masing-masing potongannya 5 cm x 10 cm.
Berilah doubel-tip pada masing-masing potongan kertas manggis agar dapat ditempelkan pada triplek.
D. PENGGUNAAN MEDIA MANIPULATIF UNTUK MATERI OPERASI PECAHAN
a. Penjumlahan
Misalkan kita akan menjumlahkan ???
Adapun langkah-langkah yang akan kita lakukan dalam menjumlahkan dua buah bilangan pecahan adalah sebagai berikut.
Buatlah sebuah persegi panjang pada triplek yang sudah kita sediakan.
Kemudian bagilah persegi panjang tersebut dalam menjadi tiga bagian yang sama ( karena penyebut bilangan pertama 3)
Dari sisi yang lain, bagilah persegi panjang tersebut menjadi dua bagian yang sama (karena penyebut bilangan kedua 2)
Letakkan kertas manggis berwarna merah sebanyak 1/3 bagian dari sisi vertikal, dan kertas manggis berwarna kuning sebanyak ½ bagian dari sisi horizontal.
Pada percobaan terdapat satu kotak yang berisi dua warna, pindahkan salah satu warnanya ke kotak yang masih kosong.
Hitunglah berapa banyak kotak berwarna merah dan berwarna kuning, serta seluruh kotak yang tersedia, maka dapat kita simpulkan bahwa
b. Pengurangan
Misalkan kita akan mengurangkan ???
Adapun langkah-langkah yang akan kita lakukan dalam mengurangkan dua buah bilangan pecahan adalah sebagai berikut.
Buatlah sebuah persegi panjang pada triplek yang sudah kita sediakan.
Kemudian bagilah persegi panjang tersebut dalam menjadi dua bagian yang sama ( karena penyebut bilangan pertama 2)
Dari sisi yang lain, bagilah persegi panjang tersebut menjadi tiga bagian yang sama (karena penyebut bilangan kedua 3)
Letakkan kertas manggis berwarna merah sebanyak ½ bagian dari sisi vertikal
Pindahkan satu kertas warna merah, sehingga akan diperoleh 1/3 bagian
Karena bilangan pengurangnya adalah 1/3, maka baliklah 1/3 bagiannya.
Hitunglah berapa banyak kotak berwarna merah yang tersisa, maka dapat kita simpulkan bahwa
c. Perkalian
Misalkan kita akan mengalikan ???
Adapun langkah-langkah yang akan kita lakukan dalam menjumlahkan dua buah bilangan pecahan adalah sebagai berikut.
Buatlah sebuah persegi panjang pada triplek yang sudah kita sediakan.
Kemudian bagilah persegi panjang tersebut dalam menjadi tiga bagian yang sama ( karena penyebut bilangan pertama 3)
Dari sisi yang lain, bagilah persegi panjang tersebut menjadi dua bagian yang sama (karena penyebut bilangan kedua 2)
Letakkan kertas manggis berwarna merah sebanyak 1/3 bagian dari sisi vertikal, dan kertas manggis berwarna kuning sebanyak ½ bagian dari sisi horizontal.
Sekarang hitunglah berapa kotak yang berisi dua warna, maka dapat kita simpulkan bahwa
d. Pembagian
Misalkan kita akan mengalikan ???
Adapun langkah-langkah yang akan kita lakukan dalam menjumlahkan dua buah bilangan pecahan adalah sebagai berikut.
Buatlah sebuah persegi panjang pada triplek yang sudah kita sediakan.
Kemudian bagilah persegi panjang tersebut dalam menjadi tiga bagian yang sama ( karena penyebut bilangan pertama 3)
Dari sisi yang lain, bagilah persegi panjang tersebut menjadi dua bagian yang sama (karena penyebut bilangan kedua 2)
Letakkan kertas manggis berwarna merah sebanyak 1/3 bagian dari sisi vertikal, dan kertas manggis berwarna kuning sebanyak ½ bagian dari sisi horizontal.
Sekarang hitunglah berapa kotak yang berisi jika dilihat secara vertikal (sebagai pembilang), dan berapa kotak secara horizontal (penyebut), maka dapat kita simpulkan bahwa
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dengan media yang dapat dibalik, dipotong, digeser, dipidahkan, digambar, ditambah, dipilah, dikelompokkan atau diklasifikasikan dapat menjelaskan konsep dan prosedur matematika. Media manipulatif untuk materi operasi pecahan ini terbuat dari triplek dan kertas warna. Media manipulatif ini dipergunakan untuk menjumlahkan, mengurangkan, mengalikan dan membagi dua buah bilangan pecahan.
DAFTAR PUSTAKA
Azhar, A. 2007. Media Pembelajaran. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Dale. 2007. CAI : Media Pembelajaran Kontekstual Berbasis Informasi Teknologi. (Http://jchkumaat.wordpress.com/2007/02/18/cai-media-pembelajaran-kontekstual-berbasis-informasi-teknologi, diakses tanggal 17 Maret 2008)
Depdiknas.2006. “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan”. http://www.depdiknas.go.id. Diakses tanggal 24 Maret 2010.
Heinich, R. et.al. 1996. Intructional Media and Technologies for Learning. 5th edition. Meriill an imprint of Prentice Hall : Englewood Clifft. New Jersy. Columvus , Ohio
Muhsetyo, dkk. 2007. Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
Rohani, A. 1997. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta : Rineka Cipta.
Sadiman, Arif S, dkk. 2005. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.
Sudjana, N, A. Rivai. 2005. Media Pengajaran: Penggunaannya dan Pembuatannya. Bandung: Sinar Baru.
Zulkardi. 2002. Developing a Learning Environment on Realistic Mathematics Education for Indonesian student teachers. Disertasi. (http://projects.edte.utwente.nl/cascade/imei/dissertation/disertasi.html. diakses tanggal 10 Desember 2007)
04 Maret 2010
Situs-Situs Pembelajaran Matematika
Anda ingin belajar dari sumber-sumber lain
E-dukasi.net
Buku Sekolah Elektronik (BSE)
Link-link Terkait Olimpiade Matematika
Institut Pengembangan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
Math Is Fun
About:Mathematics
National Council Of Teachers Of Mathematics
Mathematics, learning, computing, travel – and whatever…
Interactive Mathematics Miscellany and Puzzles
Sejarah yang berkaitan dengan matematika
Tangram Interaktif
Berlatih Operasi Hitung
Artikel-Artikel Matematika
Kurikulum Online
http://www.math.umd.edu
Read More......
E-dukasi.net
Buku Sekolah Elektronik (BSE)
Link-link Terkait Olimpiade Matematika
Institut Pengembangan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
Math Is Fun
About:Mathematics
National Council Of Teachers Of Mathematics
Mathematics, learning, computing, travel – and whatever…
Interactive Mathematics Miscellany and Puzzles
Sejarah yang berkaitan dengan matematika
Tangram Interaktif
Berlatih Operasi Hitung
Artikel-Artikel Matematika
Kurikulum Online
http://www.math.umd.edu
23 Februari 2010
Mendiknas Apresiasi Semua Pandangan tentang UN
Menteri Pendidikan Nasional RI Mohammad Nuh memberikan apresiasi terhadap semua pandangan masyarakat terkait Ujian Nasional (UN). Semua pandangan itu, menurutnya, menunjukkan kepedulian masyarakat terhadap pendidikan.
"Pemerintah memberikan apresiasi terhadap pandangan-pandangan masyarakat terkait UN, apa pun itu. Kenapa, karena pandangan-pandangan itu menunjukkan kepedulian masyarakat yang tinggi terhadap pendidikan. Kalau tidak peduli, masyarakat tidak akan komentar apa-apa," katanya, seusai membuka Konvensi Kampus VI dan Temu Tahunan XII Forum Rektor Indonesia di Pontianak, Kalimantan Barat, Jumat (8/1/2010).
Nuh mengatakan, UN merupakan bagian dari metode evaluasi. Evaluasi sendiri merupakan bagian dari proses belajar mengajar. "UN jangan dilihat sebagai satu-satunya (metode)," katanya.
Mendiknas mengibaratkan, evaluasi itu seperti mengurus pohon di hutan. Jangan sampai kita sibuk mengurusi satu pohon itu terus, sementara pohon yang lain di hutan tidak terurus. "Kita dapat satu pohon yang lain habis," kata Nuh.
Mengingat sebagai metode, UN tidak menjadi satu-satunya, ada metode yang lain. Pemerintah memilih metode tertentu karena mempertimbangkan dampak positif dan negatifnya.
"Pemerintah bukan berarti tidak memikirkan metode yang lain. Metode yang lain sudah kita exercise plus minusnya. UN (sekarang) juga kita lihat plus minusnya apa. Dari situ, yang paling banyak plusnya dan sedikit minusnya ada pada UN sekarang," katanya.
Pada UN kali ini, terang Nuh, ada ujian utama, ujian ulang, dan ujian susulan. Jika ujian ulangnya tidak lulus, masih ada ujian paket C. "Itu sudah membuka peluang dan mengakomodasi semuanya," imbuh Mendiknas.
Sejarah UN
Nuh merunut sejarah UN, yang ternyata di Indonesia bukan hal yang baru dan sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Dia bilang, ada ujian negara yang diberlakukan sampai dengan tahun 1971 dan saat itu yang lulus sedikit.
Mulai 1969 sampai dengan Repelita tahun 1972 dibuat model baru untuk menaikkan angka partisipasi kasar. Saat itu, karena yang lulus sedikit, maka bangku yang tersedia banyak yang kosong. Pada saat bersamaan dibangun SD Inpres untuk meningkatkan APK.
"Pada 1972-1992 itu dikembangkan ujian sekolah, di mana sekolah dipersilakan menentukan kelulusan. Setelah dikaji 20 tahun ada fenomena menarik, yaitu 100 persenisasi. Lho, kok 100 persen, masak semua lulus? Logikanya kan ada yang tidak lulus," katanya.
Tahun 1992-2002, lanjut Nuh, muncul evaluasi belajar tahap akhir nasional atau Ebtanas, yang mengombinasikan UN dengan ujian sekolah. Mata pelajaran tertentu dinilai sekolah dan dinilai secara nasional. Dari situ dihitung menggunakan rumus tertentu untuk menentukan kelulusan.
"Ada fakta menarik dicermati, di mana nilai UN menganga gapnya dibandingkan nilai ujian dari sekolah. Gap nilainya antara 2,5 sampai 3. Misalnya, nilai ujian sekolah 6, ternyata nilai UN 3," katanya. "Ada upaya untuk mendongkrak nilai ujian sekolah sehingga siswa bisa lulus," tambahnya.
Terakhir, tahun 2003, ada perubahan menjadi UAN atau yang sekarang dikenal dengan UN. Mata pelajaran tertentu dinilai negara, sebagian lain dinilai sekolah sepenuhnya. Saat dimulai, nilai standar kelulusan yang diterapkan saat itu hanya 3. Hal itu berpedoman pada nilai rata-rata Ebtanas sebelumnya yang hanya tiga.
"Sekarang ini yang berlaku nilai UN rata-rata 5,5 dan masih boleh ada nilai mata pelajaran 4," katanya.
Nuh menjelaskan, kelulusan siswa saat ini ditentukan oleh empat hal, meliputi siswa telah menyelesaikan semua program pembelajaran, dinyatakan lulus oleh sekolah terhadap mata pelajaran yang bersifat akhlak, lulus mata pelajaran yang diuji oleh sekolah, dan yang terakhir lulus UN.
UN adil?
Saat ditanya mengenai heterogenitas kualitas pendidikan Indonesia, bahkan beberapa di antaranya masih memprihatinkan, tetapi diberlakukan ujian yang sama di seluruh Indonesia, Nuh menyadari hal tersebut.
"Bagaimana sih? Apa adil sekolah di daerah yang satu terbatas dan daerah lain berlebih kok soalnya dijadikan satu. Ini kan tidak adil," gugat Nuh.
Berangkat dari keadaan itu, menurutnya, justru di situlah alasan pemerintah tidak mematok standar nilai kelulusan 6 atau 7. Negara lain itu matematikanya setidaknya nilainya 6, tetapi di negara kita nilainya boleh 4.
"Tapi, kalau bahasa Indonesia mendapat nilai 4 itu aneh, wong itu bahasanya sendiri kok. Angka 4 itu sudah mengakomodasikan bahwa kita yakini ada sekolah yang infrastrukturnya masih ada yang perlu didorong terus," katanya.
Pemerintah, menurutnya, saat ini tengah berupaya menuntaskan standar pelayanan minimum (SPM) di sekolah-sekolah, termasuk pembenahan infrastrukturnya. Meski ada sekolah yang kondisi infrastrukturnya masih tidak baik, jangan dipandang sebelah mata bahwa di sekolah itu tidak ada anak yang pintar.
"Kalau ada ide sekolah yang memenuhi standar (pelayanan) minimum diuji sendiri dan yang belum diuji sendiri, itu justru diskriminasi besar. Seakan-akan siswa yang dari sekolah tidak baik tidak memiliki kesempatan yang sama dengan sekolah lain," katanya.
Terakhir Mendiknas berharap, pihak sekolah dan seluruh elemen masyarakat dapat mendukung siswa agar dapat mempersiapkan diri menghadapi UN dengan baik.
— Menteri Pendidikan Nasional RI Mohammad Nuh memberikan apresiasi terhadap semua pandangan masyarakat terkait Ujian Nasional (UN). Semua pandangan itu, menurutnya, menunjukkan kepedulian masyarakat terhadap pendidikan.
Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/01/08/18550691/Mendiknas.Apresiasi.Semua.Pandangan.tentang.UN
Read More......
"Pemerintah memberikan apresiasi terhadap pandangan-pandangan masyarakat terkait UN, apa pun itu. Kenapa, karena pandangan-pandangan itu menunjukkan kepedulian masyarakat yang tinggi terhadap pendidikan. Kalau tidak peduli, masyarakat tidak akan komentar apa-apa," katanya, seusai membuka Konvensi Kampus VI dan Temu Tahunan XII Forum Rektor Indonesia di Pontianak, Kalimantan Barat, Jumat (8/1/2010).
Nuh mengatakan, UN merupakan bagian dari metode evaluasi. Evaluasi sendiri merupakan bagian dari proses belajar mengajar. "UN jangan dilihat sebagai satu-satunya (metode)," katanya.
Mendiknas mengibaratkan, evaluasi itu seperti mengurus pohon di hutan. Jangan sampai kita sibuk mengurusi satu pohon itu terus, sementara pohon yang lain di hutan tidak terurus. "Kita dapat satu pohon yang lain habis," kata Nuh.
Mengingat sebagai metode, UN tidak menjadi satu-satunya, ada metode yang lain. Pemerintah memilih metode tertentu karena mempertimbangkan dampak positif dan negatifnya.
"Pemerintah bukan berarti tidak memikirkan metode yang lain. Metode yang lain sudah kita exercise plus minusnya. UN (sekarang) juga kita lihat plus minusnya apa. Dari situ, yang paling banyak plusnya dan sedikit minusnya ada pada UN sekarang," katanya.
Pada UN kali ini, terang Nuh, ada ujian utama, ujian ulang, dan ujian susulan. Jika ujian ulangnya tidak lulus, masih ada ujian paket C. "Itu sudah membuka peluang dan mengakomodasi semuanya," imbuh Mendiknas.
Sejarah UN
Nuh merunut sejarah UN, yang ternyata di Indonesia bukan hal yang baru dan sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Dia bilang, ada ujian negara yang diberlakukan sampai dengan tahun 1971 dan saat itu yang lulus sedikit.
Mulai 1969 sampai dengan Repelita tahun 1972 dibuat model baru untuk menaikkan angka partisipasi kasar. Saat itu, karena yang lulus sedikit, maka bangku yang tersedia banyak yang kosong. Pada saat bersamaan dibangun SD Inpres untuk meningkatkan APK.
"Pada 1972-1992 itu dikembangkan ujian sekolah, di mana sekolah dipersilakan menentukan kelulusan. Setelah dikaji 20 tahun ada fenomena menarik, yaitu 100 persenisasi. Lho, kok 100 persen, masak semua lulus? Logikanya kan ada yang tidak lulus," katanya.
Tahun 1992-2002, lanjut Nuh, muncul evaluasi belajar tahap akhir nasional atau Ebtanas, yang mengombinasikan UN dengan ujian sekolah. Mata pelajaran tertentu dinilai sekolah dan dinilai secara nasional. Dari situ dihitung menggunakan rumus tertentu untuk menentukan kelulusan.
"Ada fakta menarik dicermati, di mana nilai UN menganga gapnya dibandingkan nilai ujian dari sekolah. Gap nilainya antara 2,5 sampai 3. Misalnya, nilai ujian sekolah 6, ternyata nilai UN 3," katanya. "Ada upaya untuk mendongkrak nilai ujian sekolah sehingga siswa bisa lulus," tambahnya.
Terakhir, tahun 2003, ada perubahan menjadi UAN atau yang sekarang dikenal dengan UN. Mata pelajaran tertentu dinilai negara, sebagian lain dinilai sekolah sepenuhnya. Saat dimulai, nilai standar kelulusan yang diterapkan saat itu hanya 3. Hal itu berpedoman pada nilai rata-rata Ebtanas sebelumnya yang hanya tiga.
"Sekarang ini yang berlaku nilai UN rata-rata 5,5 dan masih boleh ada nilai mata pelajaran 4," katanya.
Nuh menjelaskan, kelulusan siswa saat ini ditentukan oleh empat hal, meliputi siswa telah menyelesaikan semua program pembelajaran, dinyatakan lulus oleh sekolah terhadap mata pelajaran yang bersifat akhlak, lulus mata pelajaran yang diuji oleh sekolah, dan yang terakhir lulus UN.
UN adil?
Saat ditanya mengenai heterogenitas kualitas pendidikan Indonesia, bahkan beberapa di antaranya masih memprihatinkan, tetapi diberlakukan ujian yang sama di seluruh Indonesia, Nuh menyadari hal tersebut.
"Bagaimana sih? Apa adil sekolah di daerah yang satu terbatas dan daerah lain berlebih kok soalnya dijadikan satu. Ini kan tidak adil," gugat Nuh.
Berangkat dari keadaan itu, menurutnya, justru di situlah alasan pemerintah tidak mematok standar nilai kelulusan 6 atau 7. Negara lain itu matematikanya setidaknya nilainya 6, tetapi di negara kita nilainya boleh 4.
"Tapi, kalau bahasa Indonesia mendapat nilai 4 itu aneh, wong itu bahasanya sendiri kok. Angka 4 itu sudah mengakomodasikan bahwa kita yakini ada sekolah yang infrastrukturnya masih ada yang perlu didorong terus," katanya.
Pemerintah, menurutnya, saat ini tengah berupaya menuntaskan standar pelayanan minimum (SPM) di sekolah-sekolah, termasuk pembenahan infrastrukturnya. Meski ada sekolah yang kondisi infrastrukturnya masih tidak baik, jangan dipandang sebelah mata bahwa di sekolah itu tidak ada anak yang pintar.
"Kalau ada ide sekolah yang memenuhi standar (pelayanan) minimum diuji sendiri dan yang belum diuji sendiri, itu justru diskriminasi besar. Seakan-akan siswa yang dari sekolah tidak baik tidak memiliki kesempatan yang sama dengan sekolah lain," katanya.
Terakhir Mendiknas berharap, pihak sekolah dan seluruh elemen masyarakat dapat mendukung siswa agar dapat mempersiapkan diri menghadapi UN dengan baik.
— Menteri Pendidikan Nasional RI Mohammad Nuh memberikan apresiasi terhadap semua pandangan masyarakat terkait Ujian Nasional (UN). Semua pandangan itu, menurutnya, menunjukkan kepedulian masyarakat terhadap pendidikan.
Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2010/01/08/18550691/Mendiknas.Apresiasi.Semua.Pandangan.tentang.UN
Langganan:
Postingan (Atom)