Oleh: Sujinal Arifin
Pendahuluan
Matematika merupakan cabang mata pelajaran yang luas cakupannya dan bukan hanya sekedar bisa berhitung atau memasukkan angka-angka ke dalam rumus saja tetapi mencakup beberapa kompetensi yang menjadikan siswa dapat memahami dan mengerti tentang konsep dasar matematika. Belajar matematika juga membutuhkan kemampuan bahasa untuk memahami dan mengerti tentang soal-soal atau memahami logika, juga imajinasi dan kreativitas. Dan sekiranya dipergunakan dalam lingkungan sekolah, yaitu antara guru dan siswa maka kuncinya adalah mengambil contoh dalam kehidupan sehari-hari dan dibuat semenarik mungkin.
Pelaksanaan pembelajaran matematika yang dituntut dalam KTSP yaitu pembelajaran matematika yang hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi atau contextual problem (Depdiknas, 2006). Dengan mengajukan masalah kontekstual, siswa secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep-konsep matematika yaitu mengkondisikan siswa untuk menemukan kembali rumus, konsep, atau prinsip dalam matematika, melalui bimbingan guru. Agar siswa terbiasa melakukan penyelidikan dan menemukan sesuatu, fokus dalam pembelajaran dapat dilakukan melalui pendekatan pemecahan masalah yang mencakup masalah tertutup, mempunyai solusi tunggal, terbuka, atau masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Keterampilan untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah melalui pemahaman soal, memilih pendekatan atau strategi pemecahan, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi.
Dalam pembelajaran matematika selama ini, dunia nyata hanya dijadikan tempat mengaplikasikan konsep atau menerapkan rumus-rumus yang telah diperolehnya di dalam kelas. Akibatnya siswa mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran matematika di kelas, antara lain siswa kurang menghayati atau memahami konsep-konsep matematika, dan siswa mengalami kesulitan untuk mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Dan apabila ditanyakan kepada siswa, ”Matematika itu apa?”. Pertanyaan ini akan memperoleh jawaban yang hampir serupa yaitu: ”Matematika adalah ilmu hitung yang jawabannya pasti (tunggal) dan senantiasa berkaitan dengan rumus dan angka.” Sehingga, tidak sedikit siswa yang memandang matematika sebagai suatu mata pelajaran yang sangat membosankan, menyeramkan, bahkan menakutkan. Banyak siswa yang berusaha menghindari mata pelajaran tersebut. Hal ini jelas sangat berakibat buruk bagi perkembangan pendidikan matematika ke depan.
Sejalan dengan hal itu, Sembiring (2004) menyatakan bahwa matematika menuntut kemampuan berpikir eksploratif dan kreatif. Seseorang harus mengenali dan memahami peran yang dimainkan matematika dalam kehidupan, mampu mengambil keputusan dengan dasar yang kuat dan memanfaatkan matematika sehingga menjadi warga berguna. Siswa harus dididik untuk kreatif agar tidak hanya menjadi konsumen pengetahuan tetapi juga mampu menghasilkan pengetahuan baru. Untuk itu dituntut peran guru dalam menyiapkan materi, mengolah proses pembelajaran dan menilai kompetensi yang dimiliki siswa sesuai tuntutan kurikulum. Oleh karena itu, perubahan proses pembelajaran matematika yang menyenangkan harus menjadi prioritas utama.
Untuk mengatasi permasalahan di atas, perlu dicari suatu pendekatan yang dapat mendukung proses pembelajaran matematika yang menyenangkan dan bukan menyeramkan sehingga dapat meningkatkan motivasi sekaligus mempermudah pemahaman siswa dalam belajar matematika. Salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang saat ini sedang berkembang adalah Pendekatan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Pendekatan matematika realistik ini sesuai dengan perubahan paradigma pembelajaran, yaitu dari paradigma mengajar ke paradigma belajar atau perubahan paradigma pembelajaran yang berpusat pada guru ke paradigma pembelajaran yang berpusat pada siswa. Hal ini adalah salah satu upaya dalam rangka memperbaiki mutu pendidikan matematika.
Sehingga secara teoritis tujuan penulisan artikel ini adalah mendeskripsikan pendekatan PMRI dan implementasinya dalam pembelajaran matematika khususnya pokok bahasan Dimensi Tiga di kelas 1 SMA YPI Tunas Bangsa Palembang.
Pembahasan
A. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)
Realistic Mathematics Education (RME) merupakan teori belajar mengajar dalam pendidikan matematika yang dikembangkan di negeri Belanda. Teori RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa.
Di Indonesia sendiri, Realistic Mathematics Education (RME) dikenal dengan istilah Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Landasan teoritis dalam PMRI yang dijadikan acuan diadaptasi dari teori-teori Realistic Matematics Education (RME), yaitu dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa. PMRI dilandaskan pada tiga prinsip yaitu: 1) Guided reinvention and didactical phenomenology, 2) Progressive mathematization, 3) Self-developed models yang artinya bersandar pada prinsip penemuan kembali dan diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan informal, serta menggunakan konsep matematisasi (Freudenthal dalam Zulkardi, 2005).
Matematika Realistik yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal. Pembelajaran Matematika Realistik di kelas berorientasi pada karakteristik-karakteristik RME, sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal. Selanjutnya, siswa diberi kesempatan mengaplikasikan konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah dalam bidang lain.
Gravemeijer (1994) menyatakan “the emphasis on the idea of mathematics as a human activity”: Aktivitas yang dimaksud adalah mencari dan menyelesaikan masalah, serta mengorganisir materi (matematisasi). Dalam PMRI ada dua macam proses matematisasi yaitu matematisasi horizontal dan vertikal.
Pada matematisasi horizontal, siswa belajar dimulai dari masalah kontekstual, dengan menggunakan bahasa dan simbol yang dibuat sendiri, kemudian menyelesaikan masalah/soal tersebut. Dalam proses ini, setiap orang dapat menggunakan cara mereka sendiri yang mungkin berbeda dengan orang lain. Sedangkan pada matematisasi vertikal permasalahan juga dimulai dari soal-soal kontekstual, tetapi dalam jangka panjang kita dapat menyusun prosedur tertentu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan soal-soal sejenis secara langsung, tanpa menggunakan bantuan konteks.
De Lange dalam Marpaung (2007) mengemukakan tentang kegiatan matematisasi horizontal (proses informal) dapat dilakukan dengan cara:
1. mengidentifikasi konsep matematika tertentu dalam suatu konteks umum,
2. membuat suatu skema,
3. merumuskan dan memvisualisasi suatu masalah dengan cara yang berbeda,
4. menemukan relasi,
5. menemukan keteraturan,
6. mengenali aspek-aspek yang sama dalam masalah yang berbeda,
7. mentransfer masalah dunia nyata (kontekstual) ke masalah matematis, dan
8. mentransfer masalah kontekstual ke model matematis yang sudah ada atau sudah dikenal.
Sedangkan untuk kegiatan-kegiatan matematisasi vertikal dapat dilakukan dengan cara:
1. merepresentasikan suatu relasi dalam bentuk suatu rumus,
2. membuktikan regularitas (keteraturan),
3. menggunakan model yang berbeda,
4. menggabungkan atau mengintegrasikan model,
5. merumuskan konsep matematika yang baru, dan
6. melakukan generalisasi.
Siswa dapat memecahkan masalah dengan cara-cara informal melalui matematisasi horizontal. Cara-cara informal yang ditunjukkan oleh siswa sebagai inspirasi pembentukan konsep atau aspek matematikanya ditingkatkan melalui matematisasi vertikal. Melalui proses matematisasi horizontal-vertikal diharapkan siswa dapat memahami atau menemukan konsep-konsep matematika (pengetahuan matematika formal).
B. Karakteristik PMRI
Ada lima karakteristik yang dijadikan landasan teori PMRI (de Lange, 1987) dalam Zulkadi (2005) antara lain:
1. Menggunakan masalah konstekstual.
Masalah konstekstual digunakan selain sebagai bentuk aplikasi dapat juga sebagai titik tolak dari mana matematika yang diinginkan dapat muncul
2. Menggunakan model-model.
Pengembangan model, skema dan simbolisasi digunakan sebagai instrumen dalam matematisasi secara vertikal sehingga pembelajaran matematika tidak hanya menstransfer rumus atau matematika formal secara langsung
3. Menggunakan kontribusi murid.
Proses belajar mengajar berfokus pada student centre dan diharapkan dikonstuksi siswa sendiri sehingga mengarahkan mereka dari metode informal mereka ke arah yang lebih formal atau standar
4. Interaktivitas, negosiasi secara eksplisit, intervensi, kooperasi, dan evaluasi sesama murid dan guru adalah faktor penting dalam proses belajar secara konstruktif dimana strategi informal murid digunakan sebagai jantung untuk mencapai formal.
5. Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya, pendekatan holistik, menunjukkan bahwa unit-unit belajar tidak akan dapat dicapai secara terpisah tetapi keterkaitan dan keterintegrasian harus dieksploitasi dalam pemecahan masalah.
Selain itu, menurut Reewijk dalam Marpaung( 2007) di dalam pebelajaran matematika denngan pendekatan PMRI terdapat lima prisip pokok sebagai berikut: (a) Dunia ‘nyata’; (b) Produksi bebas dan konstruksi; (c) Matematisasi; (d) Interaksi dan (e) Aspek pembelajaran secara terintegrasi.
Selanjutnya Marpaung (2007) merumuskan karakteristik Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) sebagai berikut:
1. Murid aktif, guru aktif (matematika sebagai aktivitas manusia).
2. Pembelajaran sedapat mungkin dimulai dengan menyajikan masalah kontekstual/realistik.
3. Guru memberi kesempatan pada siswa menyelesaikan masalah dengan cara sendiri.
4. Guru menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan.
5. Siswa dapat menyelesaikan masalah dalam kelompok (kecil atau besar).
6. Pembelajaran tidak selalu di kelas (bisa di luar kelas, duduk di lantai, pergi ke luar sekolah untuk mengamati atau mengumpulkan data).
7. Guru mendorong terjadinya interaksi dan negosiasi, baik antara siswa dan siswa, juga antara siswa dan guru.
8. Siswa bebas memilih modus representasi yang sesuai dengan struktur kognitifnya sewaktu menyelesaikan suatu masalah (menggunakan model).
9. Guru bertindak sebagai fasilitator (Tut Wuri Handayani).
10. Kalau siswa membuat kesalahan dalam menyelesaikan masalah jangan dimarahi tetapi dibantu melalui pertanyaan-pertanyaan (santun, terbuka, komunikatif dan menghargai pendapat siswa)
C. Proses Pembelajaran dengan Pendekatan PMRI
Berdasarkan prinsip dan karakteristik PMRI, Hadi (2005) memberikan batasan dalam proses pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI, yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
1) Hendaknya pelajaran dimulai dengan mengajukan permasalahan yang nyata (riil) bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya. Hal ini bertujuan agar siswa dapat segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna.
2) Menyesuaikan antara permasalahan yang diberikan kepada siswa dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut.
3) Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan.
4) Pengajaran berlangsung secara interaktif, siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain, dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.
Selain itu tentunya diharapkan siswa tidak sekedar aktif sendiri tapi ada aktivitas bersama diantara siswa sehingga dapat terjadi interaksi antara siswa. Interaksi ini dapat terjadi dengan baik jika guru tidak terpaku hanya pada materi yang tertulis dalam kurikulum, tetapi selalu melakukan up-dating materi dengan persoalan-persoalan baru dan menantang.
Hadi (2002) mengemukakan tentang tiga syarat bagi berhasilnya implementasi PMRI di Indonesia yakni:
a. ketersediaan bahan kurikulum PMRI beserta pedoman implementasinya pada pembelajaran matematika;
b. perubahan keyakinan guru bahwa mengajar matematika berarti menuntun siswa untuk belajar dan mengerjakan matematika (doing mathematics); dan
c. perubahan peranan siswa dari penerima pasif menjadi individu yang aktif bekerja dan berfikir matematik.
D. Implementasi Pendekatan PMRI pada Pokok Bahasan Dimensi Tiga
Pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan PMRI ini dilakukan pada pokok bahasan dimensi tiga. Pada pokok bahasan ini difokuskan pada bagaimana menentukan kedudukan titik, garis dan bidang dalam ruang dimensi tiga.
Selanjutnnya dalam proses pembelajaran, pertama-tama siswa diajak mengingat kembali berbagai jenis bidang datar dan bangun ruang yang pernah mereka kenal atau dipelajari di SMP. Siswa diajak mengamati konteks nyata yang ada di sekitarnya, dalam hal ini kondisi ruang kelas. Dengan berdiskusi kelompok dengan temannya para siswa dapat mengidentifikasi bangun ruang serta dapat mengidentifikasi perbedaanya dengan bangun datar.
Kemudian siswa mendiskusikan tentang titik, garis, dan bidang menggunakan konteks ruang kelas, kemudian menyampaikan pendapat kelompok dalam bentuk diskusi kelas dan menyimpulkan apa pengertian dari titik, garis, dan bidang.
Selanjutnya siswa diajak untuk mendiskusikan suatu permasalahan bagaimana cara menentukan jarak dari titik ke titik dalam ruang tiga dimensi dengan menggunakan konteks ruangan kelas. Sebagai contoh yang digunakan disini adalah bola lampu yang ada di ruangan kelas yang dijadikan sebuah titik. Karena dalam kelas tersebut ada tiga buah bola lampu, maka guru mengajukan pertanyaan kepada siswa: ”Bagaimana cara Anda menentukan jarak lampu A ke lampu B dan jarak lampu A ke lampu C?”. Siswa ditugaskan untuk menjawab pertanyaan secara individui, kemudian siswa mendiskusikan hasil jawaban mereka masing-masing dalam kelompok dan melaporkan hasil diskusi kelompok mereka. Kesimpulan yang diperoleh dari masing-masing kelompok ini semua hampir sama, yaitu menarik garis lurus dari lampu A ke lampu B atau dari lampu A ke lampu C kemudian mengukur panjang dengan alat ukur yang relevan.
Setelah siswa memahami bagaimana cara mencari jarak titik ke titik pada ruang tiga dimensi, kemudian siswa diajak untuk mendiskusikan bagaimana cara mengukur jarak sebuah titik dengan sebuah garis. Contoh yang diambil masih dalam ruang kelas, jarak lampu dengan salah satu bentuk garis yang ada di langit-langit kelas. Pada permasalahan ini masing-masing kelompok memiliki pendapat yang berbeda-beda.
Pendapat Pertama: jarak titik ke garis adalah panjang garis yang ditarik dari titik ke bidang. Jadi masing-masing garis ini merupakan jarak dari titik ke garis
Pendapat Kedua: jarak titik ke garis adalah panjang garis yang ditarik dari titik ke ujung-ujung garis. Jadi masing-masing garis dari titik ke ujung-ujung garis merupakan jarak dari titik ke garis
Pendapat ketiga: jarak titik ke garis adalah jarak terdekat yang ditarik dari titik ke garis, artinya dari titik ditarik garis tegak lurus ke garis. Jadi garis dari titik yang tegak lurus dengan garis yang di maksud merupakan jarak dari titik ke garis
Kemudian dengan melakukan analisis pada masing-masing jawab siswa dan membandingkannya dengan kesimpulan pada jarak titik dengan titik yan telah diperoleh oleh siswa, maka siswa menyimpulkan mana jawaban yang paling tepat. Kemudian dengan bimbingan dari guru siswa membuat kesimpulan tentang bagaimana cara mengukur jarak dari sebuah titik pada sebuh garis. Jadi dalam mencari jarak titik dengan garis adalah dengan menarik sebuah garis dari titik yang tegak lurus dengan garis yang dimaksud.
Selanjutnya siswa diajak untuk mencari bagaimana cara mengukur jarak titik ke bidang. Konteks yang diambil adalah bagaimana menghitung jarak lampu dengan lantai, maka semua kelompok siswa mampu menjawab dengan sempurna, yaitu menarik garis lurus dari lampu ke lantai dan mengukur panjang garis tersebut. Akan tetapi ketika konteksnya diubah menjadi bagaimana cara mengukur jarak antara lampu dengan bidang dinding tegak pada ruangan kelas. Dalam hal ini siswa masih belum dapat menemukan cara yang tepat untuk menghitung bagaimana cara mengukur jarak antara lampu dengan dinding. Kemudian dengan menggunakan cara yang sama yaitu bagaimana menghitung jarak lampu dengan lantai maka siswa dibimbing untuk menentukan cara bagaimana mengukur jarak dari titik dengan sebuah bidang. Jadi untuk mencari jarak titik dengan bidang adalah dengan cara menarik garis lurus dari titik yang tegak lurus dengan bidang.
Kemudian siswa diajak untuk menggunakan konsep-konsep jarak yang telah diperoleh untuk menyelesaikan soal latihan.
Bentuk Instrumen Penilaian
Di dalam ruangan kelas yang berbentuk balok, dengan ukuran panjang 8 m, lebar 6 m, dan tinggi 3 m. Tentukan:
a. jarak atap dengan alasnya
b. jarak antara kedua sisi samping
c. jarak antara sisi depan dengan sisi belakang
d. jarak salah satu antara titik sudut sisi atap dengan sisi alas.
e. Jarak perpotongan diagonal sisi atap dengan sisi depan.
f. Jarak perpotongan diagonal sisi atap dengan perpotongan diagonal sisi depan
Penutup
Dalam proses pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI permasalahan realistik digunakan sebagai pangkal tolak pembelajaran, sehingga situasi masalah perlu diusahakan benar-benar kontektual atau sesuai dengan pengalaman siswa, sehingga siswa dapat memecahkan masalah dengan cara-cara informal melalui matematisasi horisontal. Cara-cara informal yang ditunjukkan oleh siswa digunakan sebagai inspirasi pembentukan konsep atau aspek matematikanya yang dapat ditingkatkan melalui matematisasi vertikal. Sebagai salah satu bentuk implementasi pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI ini dilaksanakan pada pokok bahasan dimensi tiga dengan menggunakan ruangan kelas sebagai konteks. Dari hasil pembelajaran yang telah dilaksanakan ternyata konsep-konsep matematika khususnya pokok bahasan dimensi tiga lebih mudah dijelaskan menggunakan pendekatan PMRI dengan konteks lingkungan ruangan kelas.
Daftar Pustaka
Depdiknas. 2006d. Pedoman Memilih dan Menyusun Bahan Ajar. Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah, (www.dikdasmen.org/files /KTSP/Pedoman%20Memilih%20dan%20Meyusun%20 Bahan%20Ajar.doc. diakses tanggal 13 Februari 2009).
Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: Freudenthal Institute.
Hadi, S. (2002). Effective Teacher Professional Development for Implementation of Realistic Mathematics Education in Indonesia. Dissertation of University of Twente. Enschede: PrintPartners Ipskamp.
Hadi, Sutarto. 2005. Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya. Banjarmasin: Tulip
Marpaung, J. (2007). Matematisasi Horizontal dan Matematisasi Vertikal. Jurnal Pendidikan Matematika Vol.1, No.1 Januari 2007. PPs UNSRI.
Sembiring. 2004. “Kemampuan Dasar Untuk Hidup”. Buletin PMRI, edisi keempat April 2004, hal 5 kolom 1.
Zulkardi. 2005. Pendidikan Matematika di Indonesia: Beberapa Perrmalasahan dan Upaya Penyelesaian. Pidato pengukuhan sebagai guru besar tetap dalam bidang ilmu pendidikan Matematika pada FKIP Unsri. Palembang: Universitas Sriwijaya.
Do this hack to drop 2lb of fat in 8 hours
BalasHapusMore than 160 000 men and women are losing weight with a simple and SECRET "liquids hack" to lose 2lbs each and every night as they sleep.
It's very simple and works every time.
This is how you can do it yourself:
1) Go get a drinking glass and fill it up with water half the way
2) Proceed to do this proven HACK
and you'll be 2lbs thinner the very next day!